Jakarta — Tepat satu tahun sejak mantan jenderal dan politikus Prabowo Subianto menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, sejumlah kelompok mahasiswa dan organisasi kemahasiswaan menggelar aksi demonstrasi besar-besaran di kawasan ibukota. Aksi tersebut digelar di bawah slogan seperti “#1YearIsEnough” dan “#1YearOfContinuousProblems”, yang menandakan bahwa ekspektasi besar terhadap pemerintahan baru telah berubah menjadi tuntutan atau penghakiman publik.
Kelompok yang paling vokal adalah orgnisasi mahasiswa kampus dan aliansi mahasiswa nasional, seperti badan eksekutif mahasiswa gabungan (BEM SI). Mereka memusatkan kritik pada beberapa hal berikut: pertama, dugaan kurangnya transparansi dalam pelaksanaan program-sosial unggulan pemerintah; kedua, keterlibatan aparat militer dalam proyek-sipil; dan ketiga, manuver anggaran yang dianggap mengorbankan kewenangan daerah dan demokrasi partisipatif.
Salah satu pemicu besar gelombang aksi ini adalah kasus kematian seorang pengemudi layanan antar makanan yang tertabrak kendaraan patroli polisi saat demonstrasi sebelumnya. Kematian ini menjadi simbol kemarahan sosial terhadap kondisi ketidakadilan dan anggapan bahwa negara lebih memihak elit.
Pemerintah, melalui juru-bicara presiden, menyatakan bahwa sebagian besar tuntutan mahasiswa akan dikaji, termasuk perubahan mekanisme dan transparansi anggaran program gratis makan sekolah serta alokasi-anggaran sosialisasi lainnya. Namun, mahasiswa menilai respons ini terlalu lambat. Selain itu muncul kekecewaan bahwa parlemen — dengan dominasi koalisi partai penguasa — tampak kurang kritis terhadap eksekutif.
Dari sudut pengamat politik, misalnya analisis oleh Wasisto Raharjo Jati, dikemukakan bahwa pemerintahan Prabowo belum berhasil menginisiasi partisipasi publik yang sejati sehingga banyak kebijakan dihasilkan lewat “ruang tertutup” dan oleh institusi yang sulit dipantau masyarakat.
Potensi dampak:
Memperkuat pola “politik jarak jauh” (distant governance) di mana keputusan besar dibuat di pusat dengan sedikit keterlibatan publik, yang bisa melemahkan kepercayaan publik.
Tuntutan mahasiswa bisa memicu gelombang aksi lebih besar jika pemerintah tetap belum responsif—apalagi menjelang pemilu-lokal atau nasional berikutnya.
Bagi pemerintahan Prabowo, momentum satu tahun ini bisa menjadi titik koreksi penting — baik dalam soal komunikasi publik maupun implementasi program sosial.
Kesimpulan:
Meski belum berubah menjadi gerakan massa besar secara nasional seperti di beberapa negara, gelombang protes mahasiswa ini menunjukkan bahwa generasi muda Indonesia bukan hanya pengamat pasif. Mereka menuntut akuntabilitas nyata. Pemerintah memiliki kesempatan untuk menengahi dan merespons dengan langkah terbuka sebelum “kekecewaan” melebar menjadi friksi politik yang lebih dalam.


FOLLOW THE NugoMedia AT TWITTER TO GET THE LATEST INFORMATION OR UPDATE
Follow NugoMedia on Instagram to get the latest information or updates
Follow our Instagram